Headline

Kasus Eva Nurshofa: DPRD Karawang Soroti TPPO dan Maraknya Pekerja Migran Ilegal


Foto : Rapat Dengar Pendapat yang digelar Komisi IV DPRD kabupaten Karawang bersama LBH Gabbar, LBH Pelita Kebenaran Nusantara dan korban dugaan TPPO Eva Nurshofa

The Karawang Post  - Karawang |  Komisi IV DPRD Karawang yang dipimpin oleh H. Asep Junaedi menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Jumat siang (14/3/2025). Rapat ini melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Bersama Bela Rakyat (Gabbar), LBH Pelita Kebenaran Nusantara, serta sejumlah pihak terkait.  

RDP ini menghadirkan Eva Nurshofa, seorang pekerja migran asal Dusun Babakan, Desa Medang Asem, Kecamatan Jaya Kerta, Karawang, yang menjadi korban dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Eva hadir bersama ayahnya, Abdul Holik, dan didampingi kuasa hukumnya, Dede Jalaludin dari LBH Gabbar.  

Kasus Eva Nurshofa dan Dugaan TPPO

Dede Jalaludin menjelaskan bahwa pada 7 Maret 2025 dini hari, Eva menghubunginya dari Oman, mengaku telah diberangkatkan ke negara tersebut melalui tangan sponsor bernama Asep dan Tina. 

Di sana, ia dipekerjakan di rumah agency pekerja migran hingga akhirnya kasusnya viral di media sosial.  

Dede menyoroti peran Imigrasi Karawang dalam mengawasi pekerja migran dan meminta Kepala Kantor Imigrasi Karawang untuk lebih selektif dalam menunjuk kader penggerak desa binaan. 

Ia juga menekankan pentingnya sosialisasi mengenai jenis visa yang boleh digunakan untuk bekerja di luar negeri.  

Karawang, Wilayah dengan Kasus TPPO Terbesar di Jawa Barat

Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Karawang, Rosmalia Dewi, mengungkapkan bahwa Karawang menjadi daerah dengan kasus TPPO terbesar di Jawa Barat. Menurutnya, peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah kasus serupa.  

"Eva Nurshofa masih beruntung bisa segera dipulangkan. Berbeda dengan Dede Aisah, pekerja migran asal Karawang lainnya yang butuh lebih dari setahun untuk bisa kembali ke tanah air," ujarnya.  

Rosmalia juga memperingatkan bahwa konversi visa kerja di beberapa negara Timur Tengah semakin berisiko bagi pekerja migran ilegal. Jika seorang pekerja sudah terjerat aturan tersebut, maka bahkan pihak Kementerian pun akan kesulitan membantu pemulangannya.  

Disnaker Karawang mengimbau masyarakat untuk mengenali tanda-tanda rekrutmen ilegal. Jika paspor dan visa kerja calon pekerja migran bukan diterbitkan oleh Imigrasi dan Disnaker Karawang, itu bisa menjadi indikasi kuat TPPO.  

"Kita harus waspada terhadap bujuk rayu calo pekerja migran. Peraturan konversi visa kerja di negara Timur Tengah bisa sangat membahayakan bagi mereka yang berangkat secara ilegal," tegas Rosmalia.  

Peringatan dari BP2MI dan Regulasi Pekerja Migran

Perwakilan BP2MI Jawa Barat, Devi, menegaskan bahwa kasus yang dialami Eva merupakan bentuk penempatan pekerja migran yang tidak sesuai prosedur. 

Ia mengungkapkan bahwa calo biasanya mulai menjebak korban sejak dari tahap pemeriksaan kesehatan, terutama jika calon pekerja dinyatakan tidak layak oleh klinik resmi.  

Devi menjelaskan beberapa skema resmi penempatan pekerja migran Indonesia:  

1. G-to-G (Government to Government): Penempatan langsung oleh pemerintah dengan negara tujuan terbatas seperti Jerman, Jepang, dan Korea.  
2. V-to-V (Visa to Visa): Penempatan melalui kerja sama antar-agency, namun bisa disalahgunakan oleh agency nakal.  
3. Mandiri: Skema ini paling berbahaya karena rawan penipuan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.  
4. Untuk Kepentingan Perusahaan: Pekerja dikirim langsung oleh perusahaan sesuai kebutuhan proyek di luar negeri.  

Menurut Devi, negara Timur Tengah masih dalam status moratorium penempatan pekerja sektor rumah tangga. Oleh karena itu, ia mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya dengan pihak yang menawarkan pekerjaan di negara-negara tersebut tanpa prosedur yang jelas.  

Komisi IV DPRD Karawang: Jangan Sampai “No Viral No Justice” 

Dalam rapat tersebut, anggota Komisi IV DPRD Karawang, Dr. Dede Anwar Hidayat, menegaskan bahwa penanganan kasus TPPO harus serius dan tidak boleh hanya bergantung pada viralnya suatu kasus di media sosial.  

"Hukum harus memberikan kepastian, manfaat, serta keadilan. Jangan sampai kita terjebak dalam prinsip 'No Viral No Justice'," ujarnya.  

Sekretaris Komisi IV, Asep Syarifudin Ibe, bahkan menyamakan kejahatan TPPO dengan tindakan terorisme. Ia mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan terhadap korban.  

Sementara itu, legislator Partai Gerindra, Ikbal, mengapresiasi LBH Gabbar atas usahanya memulangkan Eva ke tanah air.  

"Kasus ini terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang prosedur pekerja migran dan sponsor tenaga kerja," ungkapnya.  

Kesimpulan

Kasus Eva Nurshofa menjadi pengingat bahwa TPPO masih menjadi ancaman serius bagi pekerja migran Indonesia. Peran pemerintah, DPRD, masyarakat, dan aparat penegak hukum sangat penting dalam mencegah dan menindak tegas praktik ilegal ini.  

Pemerintah diminta untuk terus memperkuat sosialisasi dan pengawasan, sementara masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dalam menerima tawaran kerja di luar negeri. Jangan sampai tergoda oleh janji manis calo yang pada akhirnya justru membawa petaka.


• Kojek

0 Komentar

© Copyright 2022 - THE KARAWANG POST