[K]OTAK KOSONG


Foto : Dadan Suhendarsyah


"Kecerdasan intelektual dan kecemerlangan berfikir yang tumbuh dalam masyarakat tertindas dan kaum intelektual yang kehilangan semangat, akan dianggap sebagai KEJAHATAN BESAR"

Demokrasi merupakan jalan atau alat, bukanlah tujuan dari terbentuknya sebuah negara. Goal-nya adalah pemerintahan bersih berwibawa yang mampu menciptakan masyarakat adil dalam kemakmuran.  

Dalam perjalanannya sistem dan pola perhelatan demokrasi senantiasa mengalami perubahan, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi, atau karena ditemukan kelemahan dalam pola demokrasi sebelumnya. 

Contoh sederhana semisal pemilihan presiden yang yang awalnya dipilih oleh MPR berubah dipilih langsung oleh rakyat. Lalu penentuan caleg terpilih yang awalnya berdasarkan nomor urut, beralih menjadi suara terbanyak.

Tentu saja, setiap sistem dan pola demokrasi, seperti juga produk manusia lainnya, tidak hanya mengandung kelebihan (plus), tapi sekaligus mengikut sertakan kelemahan (minus).  Ini yang mestinya disadari oleh para elite dan warga negara. Kreasi-kreasi pemikiran memang bukan kejahatan. 

Sebagai manusia normal maka rasa ingin tahu (curiousity) adalah keniscayaan. Mencoba sesuatu yang baru adalah hal manusiawi, tapi mengakui kelemahan produk baru dan dirasa perlu kembali ke pola lama bukanlah kekeliruan atau langkah mundur (setback). Tidak semua hasil budaya cocok diterapkan, tapi nilai-nilai kebaikan sudah pasti cocok di segala zaman.

Ada beberapa kecenderungan pola pikir publik dalam perhelatan demokrasi saat ini yang cenderung pragmatis, semakin menjauhkan dari cita-cita luhur para leluhur negeri serta sejatinya membuat terjaga, eling dan waspada para pewarisnya.

Kesatu, propaganda Kotak Kosong (calon tunggal). Propaganda jenis ini sering dilakukan oleh kekuatan pro incumbent/ petahana. Mungkin berbasis analisa mesin politik melalui kebijakan birokrasi, jejaring massa dan terutama kekuatan modal uang, 
Betul, bahwa Politik itu siyasah, seni mengelola segala kemungkinan. 

Namun sungguh mengganggu pandangan, jika partai politik yang jelas-jelas didirikan untuk menciptakan para calon pemimpin malah serta merta menyerah pada keadaan, lalu ikut berkerumun, tidak berikhtiar menyiapkan calon alternatif penantang. 

Apa kabarmu Partai Politik? Sadarkah kita bahwa kontestasi Politik tidak hanya soal menang kalah tapi juga soal keyakinan menitipkan nasib masyarakat pada satu figur tertentu?

Kedua, pikiran money is The One and Only dalam menentukan keberpihakan kepada peminat kursi kekuasaan.  Fenomena sejenis ini makin menegaskan bahwa gaya demokrasi di Indonesia tambah liberal serta menanggalkan Demokrasi pancasila yang selama ini diagung-agungkan sebagai panduan bernegara. Bahwa uang (modal) menjadi bagian penting dalam segala sisi kehidupan itu tak bisa dipungkiri, tapi lagi-lagi bukanlah satu-satunya tolok ukur. Uang adalah bagian (part) dari seluruh komponen kebutuhan proses, bukan The One and Only.

Selanjutnya jika ditelisik lebih utuh, mindset uang sebagai satu-satunya parameter keberpihakan, bisa dikategorikan sebagai menentang sunatullah. Kenapa? Sebab Rasulullah mendapat wahyu sebagai pemimpin ummat, include memimpin seorang Qorun yang sangat kaya raya di masa itu. 

Lalu Soekarno-Hatta didapuk sebagai pemimpin bangsa, padahal banyak anak bangsa yang lebih mapan kaya raya, seperti Teuku Marham, Nitisemito, Oei Tiong Han, dan lainnya. Quote leluhur kita pun belum berubah, masih berpesan tentang perlunya memperhatikan unsur-unsur bibit, bebet, bobot.  Tidak hanya satu unsur ‘bebet” semata.
Hasil pikiran yang tertuang dalam tulisan ini bisa dianggap sebagai retoris yang utopis. Namun setidaknya bisa memantik pengakuan bahwa banyak hal yang selama ini dianggap sebagai kelaziman (permissif) justru sebenarnya adalah wujud kesesatan nalar. 

Kita seringkali melakukan pembenaran terhadap tingkah polah yang merusak peradaban dan mewariskan nilai-nilai buruk kepada para pewaris kita sendiri.  Hanya segelintir orang yang berani istiqomah (konsisten), salahsatunya pelantun Tahrim menjelang Subuh. 

Dia selalu tegak berdiri melantunkannya meski hanya sedikit warga yang langsung terjaga dan bergegas mengambil wudhu. Sebagian besar lainnya justru menggerutu merasa terganggu, atau bahkan meneruskan tidur mendengkur.


Tajug Padaplokan, 23 Juni 2004
Penulis : Dadan Suhendarsyah, Pemerhati para pengamat.

0 Komentar

© Copyright 2022 - THE KARAWANG POST